Menganyam tikar Purun merupakan salah satu tradisi
masyarakat Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara
sejak tahun 1958.
Bahan utama tikar purun ini berasal dari tumbuhan liar yang
memiliki bahasa latin eleocharis dulcis, dimana para pegrajin harus
mendapatkannya di lahan gambut yang tumbuh secara liar. Tanaman ini tumbuh di
dalam lumpur dan rawa-rawa.
Untuk proses pembuatan tikar purun, para pengrajin harus mengambil tanaman purun
yang sudah tua dan tinggi. Setelah dicabut purun harus dibawa dengan hati-hati
agar tidak patah, sehingga saat di proses purun harus utuh dan tidak rusak.
Sebelum memasuki proses penjemuran, terlebih dahulu bagian
ujungnya di potong untuk dibersihkan. Kemudian purun dijemur di bawah sinar
matahari selama 3 hari, serta harus terikat agar tidak berserakan.
Setelah purun kering, biasanya para pengrajin melindaskan
purun di jalan Raya. Namun, karena pertimbangan keselamatan, kini para
pengrajin tikar purun lebih memilih menghancurkan purun dengan menggunakan alat
tumbuk purun di rumah mereka.
Terkait dengan tingkat kesulitan pembuatannya Salma mengaku selain
harganya bervariasi, pengayaman purun memakan
waktu 5 sampai 7 hari, “kesulitannya si nggak ada, tapi pengayamannya memakan
waktu hingga 5 sampai 7 hari, dan untuk penjualan, tikar purun ini kami jual
dari harga Rp 80.000 sampai Rp 13.000 per tikarnya”, tutur Salma.
Para pengerajin tikar purun ini biasanya menjual langsung ke
toko oleh-oleh yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai.
Pembuatan tikar purun ini perlu dilestarikan, bahkan perlu
diadakan berbagai pelatihan mengenai pola anyaman purun, agar hasilnya bisa
lebih bervariasi.
Dengan adanya para pengrajin tikar purun ini bisa membantu
masyarakat mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Terlebih saat
pandemi Covid-19 melanda, keberadaan tikar purun saat ini menjadi anadalan
masyarakat Sergei Bedagai untuk mencari rezeki. (Febrina Azura)